
Hujan saat ini. Rintikannya menabrak kaca jendela kelas Sarah. Cukup deras, padahal beberapa jam yang lalu terlihat terik.
'kalau hujan begini enaknya selimutan.’
Sarah meletakkan wajahnya pada tangannya yang menyilang di meja. Matanya memejam saat alunan musik menyapu telinganya. Yang tak mengenakkan adalah pelajaran di kelasnya akan dimulai.
huft..
Sarah kembali duduk tegak, melihat segerombolan temannya masuk dengan tergesa-gesa, menandakan guru yang akan mengajar di kelasnya akan masuk.
Beberapa minggu yang lalu, teman sebangku Sarah pindah sekolah, namanya Kanoah. Murid laki-laki yang humoris, membuat Sarah sedikit sedih karena itu.
Sarah menyenderkan bahunya dan kepalanya pada jendela kaca di sebelahnya, yang dimana jika ia melihat ke kiri ia akan langsung melihat lapangan basket. Masih dengan earphone di telinganya, kini ia tengah mendengar Scars — Kenan Tee.
Sudah dua hari ia tak bertemu dengan Gamad, sudah dua hari pula mereka tidak bertukar pesan, bahkan sekedar menyapa—pun tidak.
Hanya pertengkaran kecil yang sudah mereka rasakan selama berkali-kali, namun kali ini pertengkaran yang cukup aneh dan tidak dipahami oleh Sarah. Sarah murung.
"selamat pagi, anak-anak." suara pria tua yang mengejutkan lamunan Sarah. Ia segera melepas earphonenya namun tak sempat mematikan musiknya. Matanya kini menoleh penuh ke arah sang guru.
"hari ini, kita kedatangan murid baru." sambung pria tersebut.
Memang, Sarah menatap gurunya dengan seksama, seolah ia mendengar perkataan sang guru. Namun nyatanya, pikirannya dibajak oleh perilaku aneh Gamad.
"masuk, nak."
'Gamad kenapa sih, kalo risih kan tinggal bilang.'
"permisi.."
Sarah terkejut, matanya melotot. Ternyata sedari tadi ada yang berbicara dengannya. "eh, iya?"
"aku boleh duduk disini?" tanyanya, Sarah mengerutkan keningnya berusaha melihat sekeliling.
"kenapa disini?"
"pak Joko yang suruh, soalnya memang ini kursi yang kosong."
Wajahnya tak asing, apalagi matanya. Matanya hangat, seperti ia pernah bertemu dengannya beberapa saat yang lalu.
"oh iya, duduk aja. lagipula aku sendiri." ucapnya sambil tersenyum.
Sarah mengeluarkan buku dari tasnya, saat ia berbalik ia melihat pria itu sudah mengulurkan tangan padanya.
"Prabu." ucapnya, matanya semakin hangat.
"Sarah."
"sudah tau."
Sarah menaikkan alisnya, tangannya masih membalas uluran pria itu.
"darimana kamu tau, kita baru ketemu."
"tadi kata pak Joko."
"maksudnya?"
"kamu duduk di sebelah Sarah, ya? — kira-kira seperti itu."
"oh, ya ampun. iya, kenapa aku bisa lupa ya?"
"karna kamu melamun."
Sarah menaikkan alisnya lagi, bingung dengan pria yang tengah duduk di sebelahnya ini. Bahasa baku seperti puitis, namun logatnya enak di dengar.
"kamu orang Bandung?" tanya Sarah.
"iya. ketahuan ya dari cara bicaraku?" tanyanya balik.
"iya." Sarah memalingkan wajahnya dari Prabu, pandangannya beralih ke buku sekarang.
"tadi kamu bilang kalau kita baru ketemu? kamu salah." Prabu mulai berbicara lagi.
"bukannya emang iya?"
"kamu lupa, tadi pagi kita saling senggol."
Pernyataan yang membuat Sarah ternganga. Ternyata mereka memang pernah bertemu, Sarah kenal dengan mata hangat itu. ternyata dia, Rafsha Prabu.
Beberapa menit saling diam, akhirnya Sarah membuka suara lagi, mengajukan pertanyaan pada Prabu yang tengah menulis materi pelajaran.
"kalo orang bandung, berarti sunda dong?"
Prabu melirik ke arah Sarah, menolehkan kepalanya lalu tersenyum sebelum mengangguk. "iya."
"sama kaya bunda berarti." ucap Sarah.
"oh ya? kalau gitu, bisa dong ketemu sama bunda kamu sekali-sekali?" pinta Prabu.
Senyumnya memudar, pandangannya tidak sepenuhnya pada Prabu sekarang. Sarah menunduk melihat roknya.
"Sarah, kenapa?" tanya Prabu.
"gak kenapa-kenapa. boleh." katanya sambil meluruskan kepalanya sebelum menoleh ke arah Prabu. "kamu boleh ketemu bunda kapanpun yang kamu mau."